Dibujuk Ikut Rapid Test, Tapi Malah Saya Sendirian yang Datang: Drama Era Pandemi

Cerita dari Era Covid-19: Libur Kerja Dadakan
Foto: Momen Ketika Menunggu Giliran Rapid Test di Lapangan RSS. SIdokerto
Tahun 2021 adalah tahun yang tidak akan mudah saya lupakan. Saat itu, pandemi Covid-19 masih menyebar luas dan dampaknya terasa di mana-mana. 

Salah satu tempat yang terkena imbasnya adalah kota Pati, tempat saya bekerja di sebuah kawasan perumahan yang dikenal dengan nama RSS Sidokerto. 

Saya bekerja sebagai editor video di sebuah perusahaan media, dan sehari-hari aktivitas saya banyak di kantor—mengedit konten, berkoordinasi dengan tim produksi, dan sesekali turun ke lapangan.

Cerita dari Era Covid-19: Libur Kerja Dadakan

Suatu pagi, seperti biasa saya bersiap-siap berangkat kerja. Namun, sesampainya di jalan utama menuju RSS Sidokerto, saya terkejut karena jalan sudah diblokade. 

Tidak ada kendaraan yang diperbolehkan masuk. Bingung dan sedikit panik, saya memutuskan untuk menepi dan mampir ke masjid terdekat. Selain ingin menenangkan diri sejenak, saya juga mencoba mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi.

Tak lama kemudian, saya membuka grup WhatsApp kantor, dan di sanalah semua mulai jelas. Salah satu rekan membagikan informasi bahwa RSS Sidokerto resmi dinyatakan masuk dalam zona merah. 

Beberapa warga di sana dikabarkan positif Covid-19, dan sebagai tindakan pencegahan, akses keluar-masuk perumahan ditutup sementara. 

Bahkan, kantor tempat saya bekerja ikut terdampak dan untuk sementara waktu, operasional dihentikan. Kami semua diliburkan selama satu minggu penuh.

Awalnya saya senang-senang saja, anggap saja ini liburan dadakan. Tapi entah kenapa, rasa was-was tetap ada. Pandemi memang tidak bisa dianggap enteng, dan saya mulai lebih berhati-hati dalam setiap aktivitas harian.

Dibujuk Ikut Rapid Test, Tapi Malah Saya Sendirian yang Datang

Beberapa hari setelah penutupan RSS Sidokerto, pemerintah setempat mulai mengadakan rapid test massal bagi warga dan pekerja di area tersebut. 

Di grup WhatsApp, beberapa teman kantor mulai saling mengajak untuk ikut rapid test. Saya pribadi awalnya tidak berminat. Selain rumah saya cukup jauh, hari itu saya juga bangun agak siang dan merasa malas berangkat.

Namun, teman-teman saya terus saja membujuk. “Ayo ikut, sekalian jaga-jaga,” kata salah satu dari mereka. Ada juga yang bilang, “Biar nggak was-was, mending test sekalian.” 

Karena terus-menerus dibujuk dan merasa tidak enak hati, akhirnya saya pun memutuskan berangkat. Meski sebenarnya terpaksa, saya pikir tidak ada salahnya, lagipula demi kebaikan bersama.

Setelah perjalanan lumayan jauh, akhirnya saya tiba di lokasi rapid test. Tapi alangkah terkejutnya saya—dari sekian banyak teman yang tadi heboh mengajak, ternyata hanya tiga orang yang benar-benar datang, termasuk saya. 

Dua lainnya adalah karyawan lapangan yang memang jarang saya temui karena mereka lebih sering bertugas mencari berita di luar.

Demi Rapid Test, Saya Nekat Berangkat... Tapi Teman-Teman Mana?

Lucunya, teman-teman yang paling aktif membujuk saya justru malah tidak muncul. Ketika saya tanya lewat chat, jawabannya beragam. 

Ada yang tiba-tiba berubah pikiran, ada juga yang mengaku dilarang orang tuanya karena takut kalau hasilnya positif, nanti harus isolasi di rumah sakit. Satu lagi malah bilang mendadak ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal.

Jujur saja, saya merasa sedikit kesal sekaligus geli. Saya yang awalnya malas dan tidak berniat ikut, malah jadi satu-satunya dari tim kantor yang datang. Sementara mereka yang ngotot menyarankan agar saya ikut rapid test, justru absen semua.

Ketika Zona Merah Menutup Kantor dan Membuka Mata Saya

Namun, dari kejadian ini saya belajar satu hal penting: kadang dalam hidup, kita dipaksa untuk mengambil keputusan yang awalnya terasa berat, tapi ternyata memberi pelajaran berharga. 

Saya jadi lebih menghargai pentingnya kesehatan, tanggung jawab pribadi, dan juga, betapa tidak bisa diandalkannya janji teman saat situasi genting—haha.

Hari itu saya tetap menjalani rapid test dengan tenang. Hasilnya negatif, dan saya merasa lega. Bukan hanya karena bebas dari Covid-19, tapi juga karena sudah melalui satu fase pengalaman di masa pandemi yang unik dan agak lucu ini.

Penutup

Itulah secuplik kisah saya saat pandemi menghantam kota dan tempat kerja saya. Sebuah cerita sederhana, tapi penuh warna—tentang libur mendadak, ajakan ikut rapid test, dan teman-teman yang kesannya "berkhianat" karena tidak jadi datang. 

Meski situasi saat itu cukup mencekam, kenangan ini tetap membekas dan akan selalu saya ingat sebagai bagian dari perjalanan hidup di era yang penuh ketidakpastian.

Saya pernah menuliskan pengalaman dan opini lain di blog ini, contohnya tentang tayangan sinetron di TV indonesia